ILMU PADI
Apa yang timbul di benak kalian dengan frasa yang satu ini? Ilmu seperti apa sih yang dimiliki sama salah satu bahan makanan tertua di dunia ini? Tanaman yang telah dikonsumsi oleh lebih dari separuh penduduk dunia ini sudah menyandang gelar Primary Needs atau Basic Needs, lalu apakah ilmu yang dianalogikan juga setenar itu?
Kalau
belajar Biologi yang paling gampang
diinget nama ilmiah Plantae yaitu
Padi, Oriza sativa. Betul ‘kan? IYA.
Kalau
asas yang menggunakan padi sebagai lambangnya, contoh paling gampang yaitu
lambang sila kelima Pancasila, Padi
dan Kapas. Makna khusus Padi di sini
melambangkan makanan pokok masyarakat Indonesia yang biasa dikonsumsi
sehari-hari. Bisa dikatakan bahwa Padi merupakan sumber kehidupan.
Bahkan
lambang ASEAN yang paling menonjol
yaitu disimbolkan dengan Padi. Bukannya tanpa alasan organisasi bergengsi ini
memilih Padi sebagai icon yang mampu
mendeskripsikan tujuan negara-negara anggotanya. Padi melambangkan
kesejahteraan, kemakmuran, kesuburan, dan kekayaan yang merupakan harapan tiap
bangsa di Asia Tenggara. Jumlah 10 batang padi yang terikat melambangkan jumlah
anggota ASEAN yang terikat persatuan dan solidaritas.
Baiklah
. . .
Sekarang
POV-ku (Point of View) dalam memaknai Ilmu Padi. Aku mendefinisikan Ilmu Padi dalam dua makna dan satu
pemahaman yang hampir sama dengan makna kedua sebenarnya.
“Semakin
Berisi Semakin Merunduk“ - Tanaman padi yang mulai menguning dan bernas bulirnya
ternyata enggak mampu loh berdiri menjulang tegak, batang mereka seolah - olah
tidak kuasa untuk mendongak ke atas karena mereka menopang bulir – bulir yang
penuh dengan biji padi yang sebentar lagi jadi nasi yang biasa kita makan,
alhasil tanaman yang satu ini merunduk ke bawah. Sebaliknya, tanaman padi yang belum berisi atau bulirnya belum bernas semua dapat berdiri
tegak dan menjulang ke atas.
Sama halnya
dengan kita, manusia, seseorang yang
sudah berisi dalam artian memiliki ilmu, punya banyak wawasan, dan pengalaman
akan semakin merunduk atau maksudnya rendah hati. Tidak menyombongkan apapun
yang dimilikinya. Seolah – olah orang seperti ini tuh, tidak punya kuasa untuk
berbangga diri karena mereka sadar bahwa semua itu hanya titipan yang bersifat
sementara.
Bakal beda
banget sama orang yang kurang berisi atau ilmunya belum seberapa, mereka tak
searif itu buat menyadarinya. Sehingga secara sadar atau enggak mereka
menyombongkan sesuatu yang mungkin belum ada apa-apanya.
Well, mungkin ini terkesan
klise dan overused buat kita, para
generasi Z, tapi selagi nilainya baik apa salahnya diterapkan?
“Menuai
apa yang ditanam atau Ngunduh Wohing
Pakarti” – Untuk
menuai sesuatu, kita harus menanam sesuatu dan kelak nantinya apa yang kita
tuai adalah hasil dari yang ditanam tadi. Istilah Bahasa Jawanya, Ngunduh Wohing Pakarti adalah memetik (Ngunduh) buah (Wohing) akibat dari perbuatan (Pakarti).
Unen – unen atau peribahasa Jawa yang mirip satu lagi
yaitu, “Sapa Sing Nandur, Sing Bakal
Ngunduh” artinya hampir sama juga sih, siapa yang menanam maka dialah yang
menuai. Jika kita melakukan perbuatan baik kelak akan mendapat kebaikan,
begitupun sebaliknya.
Di
awal tadi ada keterangan buat satu pemahaman lagi, OK!
Semoga
yang ini lebih ringan buat dipahami. Hehe. Ini aku ambil dari pemahaman
sehari-hari aja ya ...
~
Semua petani yang menanam padi pasti berharap bisa panen padi bukannya yang
lain (Yaiyalah) karena yang lain itu enggak bisa jadi nasi. Tapi itu belum
tentu, bisa jadi selain panen padi petani juga panen rumput-rumput liar
sekitaran sawah. ~
~
Bakal beda cerita kalau yang sengaja ditanam itu rumput-rumput liar, pasti yang
dipanen ya rumput-rumputan itu mana mungkin bisa dapat padi sekalian. ~
Sampai
sini mesti udah paham lah ya ...
Kalau
yang udah berbuat baik aja kadang yang buruk masih ngikut. Apalagi berbuat yang
buruk?
Komentar
Posting Komentar